Minggu, 18 Oktober 2015

MAKALAH FONOLOGI



MONOFTONGISASI DAN ANAPTIKSIS
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 19
KETUA             : MISMAWATI DEWI          NIM : 312013042
SEKRETARIS  : NOVITASARI                    NIM : 312013041







DOSEN PENGASUH : Dra. SAKDIAH, M.Pd.

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2013/2014


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, atas berkat rahmad Allah SWT, akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul Monoftongisasi dan Anaptikis, guna untuk memenuhi tugas kami pada mata kuliah Fonologi.
Kami menyadari akan kekurangan yang ada dalam makalah kami. Namun setidaknya dapat memberikan sedikit gambaran tentang materi yang di bahas dalam makalah ini. Kami juga mengharapkan kritik dan saran dari kalian semua.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.


Palembang,    Juni 2014

                                                                                      Penulis




i
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar Isi      ............................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan ..................................................................................................  1
1.1  Latar Belakang.................................................................................................... 1
1.2  Tujuan Penulisan................................................................................................. 1
1.3  Rumusan Masalah............................................................................................... 1
Bab II Pembahasan................................................................................................... 2
2.1 Aspek Makna Ujaran.......................................................................................... 2
 2.2 Sebab-Sebab Perubahan Makna Kata................................................................ 3
2.3 Jenis Perubahan Makna Kata  ............................................................................ 7
2.4 Perubahan Bunyi dalam Bahasa Indonesia......................................................... 8
Bab III Penutup ...................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan  ...................................................................................................... 15
Daftar Pustaka   ...................................................................................................... 16

ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dalam premis telah disebutkan bahwa bunyi-bunyi lingual condong berubah karena lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain, perubahan itu masih dalam lingkup perubahan fonetis. Tetapi, apabila perubahan bunyi itu  sudah sampai berdampak pada pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut sebagai perubahan fonemis.
1.2  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui makna ujaran
2.      Untuk mengetahui sebab-sebab perubahan makna kata.
3.      Untuk mengetahui jenis perubahan makna kata.
4.      Untuk mengetahui perubahan bunyi dalam bahasa Indonesia.
1.3  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud makna ujaran?
2.      Apa saja yang menyebabkan perubahan makna kata?
3.      Apa saja jenis perubahan makna kata?
4.      Apa saja perubahan bunyi dalam bahasa Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Aspek Makna Ujaran
A. Hakikat Makna Ujaran
Berbicara tentang makna, pertama perlu diingat adanya dua kajian tentang makna, yaitu semantik dan semiotik. Dalam praktik berbahasa teryata makna suatu ujaran tidak bisa dipahami hanya dari kajian semantik, tetapi juga harus dibantu oleh kajian semiotik, seperti pemahaman mengejai gerak-gerik tubuh dan anggota tubuh, serta mimik dan sebagainya.
B. Makna Leksikal
Dalam kajian morfologi laksem atau leksikal lazim diartikan sebagai bentuk dasar setelah mengalami proses gmatikalisasi akan menjadi kata (Kridalaksana, 1989). Sedangkan dalam kajian semantik laksem lazim diartikan sebagai satuan bahasa yang memiliki satu makna atau satu pengertian, seperti air dalam arti sejenis barang cairyang digunakan untuk keperluan sehari-hari, pensil yang diartikan sejenis alat tulis.
C. Makna Gramatikal
Tahap kedua untuk bisa memahami makna suatu ujaran dalah memahami makna gramatikal, yakni makna yang muncul sebagai hasil suatu proses gramatikal. Proses gramatikal yakni, proses afiksasi, proses reduplikasi, proses komposisi, proses pemfrasean, dan proses pengkalimatan.
D. Makna Kontekstual
Memahami makna leksikal dan makna gramatikal saja belum cukup untuk dapat memahami suatu ujaran, sesab untuk dapat memahami makna suatu ujaran harus pula diketahui konteks dan terjadinya ujaran it. Konteks ujaran ini dapat berupa konteks antarkalimat, bidang ujaran, atau juga siituasi ujaran.
E. Ujaran Teks
Ujaran teks adalah ujaran yang makna nya bisa ditafsirkan bermacam-macam
2.2 Sebab-Sebab Perubahan Makna Kata
A. Perkembangan dalam Ilmu Teknologi
Perkembangan dalam bidang ilmu dan kemajuan teknologi dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna bunyi setiap kata. Di sini makna kata yang tadinya mengandung konsep makna mengenai sesuatu yang sederhana, tetap digunakan walaupun konsep makna yang dindung telah berubah sebagai akibat dari pandangan baru, atau teori baru dalam suatu bidang ilmu atau sebagai akibat dalam perkembangan teknologi. Perubahan makna kata sastra dari makna tulisan sampai pada makna imajinatif adalah salah satu contoh perkembangan bidang keilmuan. Pandangan-pandanagan baru atau teori baru mengenai sastra menyebabkan makna kata sastra yang tadinya bermakna buku yang baik isinya menjadi karya yang bersifat imajinatif kreatif.
B. Perkembangan Sosial dan Budaya
Perkembangan dalam bidang sosial kemasyarakatan dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna. Disini sama dengan terjadi sebagai akibat perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi, sebuah kata pada mulanya bermakna “A” lalu berubah menjadi bermakna “B” atau “C’. Jadi, bentuk katanya tetap sama tetapi konsep makna yeng dikandungnya berubah.
C. Perbedaan Bidang Pemukiman
Kata-kata yang menjadi kosakata dalam bidang-bidang tertentu itu dalam kehudupan dan pemakaian sehari-hari dapat terbentuk dari bidangnya. Oleh karena itu, kata-kata tersebut menjadi memiliki makna baru atau makna lain disamping makna aslinya. Misalnya kata menggarap yang berasal dari bidang pertanian, seperti tampak dalam frase menggarap sawah, tanah garapan dan petani penggggarap, kini banyak juga digunakan dalam bidang-bidang lain dengan makna “mengerjakan” seperti tampak digunakan dalam frase menggarap skripsi, menggarap naskah drama.
D. Adanya Asosiasi
Kata-kata yang digunakan diluar bidangnya, seperti dibicarakan diatas masih ada hubungannya atu pertautan maknanya dengan makna ynag digunakan pada bidang asalnya. Umpamanya kata mencatut yang berasal dari bidang atau lingkungan pertukanagan dan perbengkelan mempunyai makna berkerja denagn menggunakn catut. Dengan menggunakan catut ini maka pekerjaan yang dilakukan, misalnya mencabut paku, menjadi dapat dilakukan dengan mudah. Oleh karena itu, kalau digunakan dalam frase seperti mencatut karcis akan memiliki makna memperoleh keuntungan dengan mudah melalui jual beli karcis.
D. Pertukaran Tanggapan Indera
Alat indera kita yang lima sebenarnya sudah mempunyai tugas-tugas tertentu untuk menangkap gejala-gejal yang terjadi di dunia ini. Umpamanya rasa pahit, getir dan manisharus ditanggap oleh alat perasa lidah.
Namun dalam penggunaan bahasa banyak terjadi perubahan kasus pertukaran tanggaoan antara indera yang satu dengan indera yang alin/ rasa pedas misalnya, yang seharusnya ditanggap dengan alat indera perasa lidah, tertukar ditanggap oleh alat indera pendengaran seperti tampak dalam ujaran kata-katanya cukup pedas.
E. Perbedaan Tanggapan
Setiap unsur leksikal atau kata sebenarnya secara sinkronis telah mempunyai makna leksikal yang tetap. Namun karena pandangan hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di dalam masyarakat, maka banyak makna kata memiliki nilai rasa rendah. Di samping itu ada juga yang memiliki nilai yang tinggi. Kata-kata yang nilainya merosot menjadi rendah ini lazim disebut peyoratif, sedangnkan uyang nilainya naik menjadi tinggi disebut amelioratif. Kata bini dewasa ini dianggap peyoratif sedangkan istri dianggap amelioratif.
E. Adanya Penyingkiran
Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau ungkapan yang karena sering dugunakan, maka kemudian tanpa diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan orang sudah mengerti maksudnya. Oleh karena itu, orang lebih banyak menggunakan singkatan daripada menggunakan bentuk utuhnya.
F. Proses Gramatikal
Proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi atau komposisi akan menyebabkan pula terjadinya perubahan makna. Tetapi dalam hal ini yang sebenarnya terjadi bukan perubahan makna, sebab bentuk kata itu sudah berubah sebagai hasil proses gramatikal. Dalam bagian pendahuluan sudah dibicrakan kalau bentuk berubah atau berbeda. jadi tidaklah dapat dikatakan kalau dalam hal ini terjadi perubahan makna, sebab yang terjadi dalam proses gramatikal, dan proses gramatikal itu telah melahirkan makna-makna gramatikal.
G. Pengembangan Istilah
Salah satu upaya dalam pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan memanfaatkan kosakata bahasa Indonesia yang ada dengan menyempitkan makna kata tersebut, meluaskan maupun memberi arti baru sama sekali. Misalnya kata papan yang semual bermakna lempengan kayu besi tipis, kini diangkat menjadi istilah untuk makna perumahan, kata sandang yang semula bermakna selendang kini diangkat menjadi istilah pakaian.

2.3 Jenis Perubahan Makna Kata
A. Meluas
Gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya hanya memiliki makna sebuah makna, tetapi kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna-makna lain. Umpamanya kata saudara yang hanya memiliki makna sekandung. Kemudian maknanya berkembang menjadi siapa yang sepertalian darah. Akibatnya anak paman pun disebut saudara.
B. Menyempit
Yang dimaksud perubahan menyempit adalah gejala gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misalnya kata sarjana yang pada mulanya berarti orangg pandai, kemudian hany berarti orang yang lulus dari perguruan tinggi.
C. Perubahan Total
Yang dimaksud perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dari makna aslanya. Misalnya, kata ceramah yang mulanya berarti cerewet atau banyak cakap tetapi kini berarti pidato atau uraian mengenai suatu hal yang disampaikan, didepan orang banyak.


D. Penghalusan
Gejala penghalusan makna ini bukan barang baru dalam masyarakat Indonesia. Orang-orang dulu karena kepercayaan atau sebab-sebab lainnya akan mengganti kata buaya atau harimau dengan kata nenek mengganti kata ular dengan kata akar. Lalu, pada tahun lima puluahanpun banyak usaha dilakuakan untuk penghalusan ini. Misalnya buta diganti dengan tunanetra, tuli dignati dengan tunarungu, dan gelandangan diganti dengan tunawisma.
E. Pengasaran
Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah. Misalnya kata masuk kotak dipakai untuk mengganti kata kalah. Namun, banyak juga kata yang sebenarnya bernilai kasar tetapi sengaja digunakan untik lebih memberi tekanan tetapi tanpa terasa kekasarannya. Misalnya kata menggondol yang biasa dipakai untuk binatang seperti anjing menggondol tulang.
2.4 Perubahan Bunyi dalam Bahasa Indonesia
Dalam premis telah disebutkan bahwa bunyi-bunyi lingual condong berubah karena lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain, perubahan itu masih dalam lingkup perubahan fonetis. Tetapi, apabila perubahan bunyi itu  sudah sampai berdampak pada pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut sebagai perubahan fonemis.
Jenis-jenis perubahan bunyi tersebut berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan anaptiksis, sebagaimana uraian berikut.
A.    Asimilasi
Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua hal bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau  hampir sama. Hal ini terjadi karena bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi atau dipengaruhi.
Dalam bahasa Indonesia, asimilasi fonetis terjadi pada bunyi nasal pada kata tentang dan tendang. Bunyi nasal pada tentangdiucapkan apiko-dental karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [t], juga apiko-dental. Bunyi nasal pada tendang diucapkan apiko-alveolar karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [d], juga apiko-alveolar. Perubahan bunyi nasal tersebut masih dalam lingkup alofon dari fonem yang sama.
B.     Disimilasi
Disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda.
Contoh :
Kata bahasa Indonesia belajar [bǝlajar] berasal dari penggabungan prefix ber [bǝr] dan bentuk dasar ajar [ajar]. Mestinya, kalau tidak ada perubahan menjadi berajar [bǝrajar]. Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang pertama diperbedakan atau didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi [bǝlajar]. Karena perubahan tersebut sudah menembus batas fonem, yaitu [r] merupakan alofon dari fonem /r/ dan [l] merupakan alofon dari fonem   /l/, maka disebut disimilasi fonemis.
C.     Modifikasi vokal
Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan kedalam peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, maka perlu disendirikan.

D.    Netralisasi
Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan. Untk mejelaskann kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut. Dengan cara pasangan minimal [baraƞ] ‘barang’−[parang] ‘paraƞ’ bisa disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada fonem /b/ dan /p/.Tetapi dalam kondisi tertentu, fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa batal setidak-tidaknya bermasalah karena dijumpai yang sama. Minsalnya, fonem /b/ pada silaba akhir pada kata adab dan sebab diucapkan [p’]: [adap] dan [sǝbab’], yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan usap: [atap’] dan [usap’]. Mengapa terjadi demikian? Karena konsonan hambatan letup bersuara [b] tidak mungkin terjadi pada posisi koda. Ketika dinetralisasikan menjadi hambatan tidak bersuara, yaitu [p’], sama dengan realisasi yang biasa terdapat dalam fonem /p/.
E.     Zeroisasi
Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak menggangu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus dikembangkan karena secara diam-diam telah didukung dan disepakti oleh komunitas penuturnya.
Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian katatak ataundak untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan, gejala itu terus berlangsung.
Zeroisasi dengan model penyingkatan ini biasa disebut kontraksi.
Apabila diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu : aferesis, apokop, dan sinkop.
F.      Metatesis
Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mengalami metatesis ini tidak banyak.


G.    Diftongisasi
Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari vokal tunggal ke vokal rangkap ini masih diucapkan dalam satu  puncak kenyaringan sehingga tetap dalam satu silaba.
H.    Monoftongisasi
Monoftongisasi yaitu perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) menjadi vokal (monoftong) . (Muslich 2012 : 126). Peristiwa penunggalan vokal ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia sebagai sikap pemudahan pengucapan terhadap bunyi-bunyi diftong.
Monoftongisasi adalah proses perubahan dua buah vokal atau gugus vokal menjadi sebuah vokal. Poses ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia akibat dari ingin memudahkan ucapan. (Chaer 2009 : 104).
Monoftongisasi adalah proses perubahan bentuk kata yang berujud sebuah diftong berubah menjadi sebuah monoftong.
Jadi, monoftongisasi adalah proses perubahan dua bunyi vokal menjadi sebuah vokal.
Contoh:
Ramai              menjadi (rame)
Kalao              menjadi (kalo)
Danau             menjadi (danau)
Satai                menjadi (sate)
Damai             menjadi (dame)
Sungai             menjadi (sunge)
I.       Anaptiksis
Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster. (Muslich 2012 : 126).
Anaptiksis adalah proses penambahan bunyi vokal di antara dua konsoan dalam sebuah kata; atau penambahan sebuah konsonan pada sebuah kata tertentu. (Chaer 2009 : 105).
Anaptiksis (suara bakti) adalah proses perubahan bentuk kata yang berujud penambahan satu bunyi antara dua fonem dalam sebuah kata guna melancarkan ucapan.
Jadi, anaptikis adalah  perubahan bentuk kata dengan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan.
Contoh:
Putra               menjadi putera
Putri                menjadi puteri
Bahtra             menjadi bahtera
Srigala             menjadi serigala
Sloka               menjadi seloka
Anaptikis ada tiga yaitu:
Protesis adalah proses  penambhan bunyi ada awal kata. Misalnya:
Mas                 menjadi emas
Mpu                 menjadi empu
Tik                   menjadi ketik
Lang                menjadi elang
Epentesis adalah proses penambahan bunyi pada tengah kata. Misalnya:
Kapak              menjadi kampak
Sajak               menjadi sanjak
Upama             menjadi umpama
Beteng             menjadi benteng
Paragog adalah proses penambahan bunyi pada posisi akhir kata. Misalnya:
Huubala           menjadi hulubalang
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penulisan makalah ini dapat diambil kesimpulan bahwa aspek dalam makna ujaran diantaranya yaitu, hakikat makna ujaran, makna leksikal, makna gramatikal, makna kontekstual, dan ujaran taksa. Penyebab perubahan makna yaitu, perkembangan dalam ilmu dan teknologi, perkembangan sosial budaya, perbedaan bidang pemakaian, adanya asosiasi, pertukaran tanggapan indera, perbedaan tanggapan, adanya penyingkatan, proses grmatikal, dan pengembangan istilah. Jenis perubahanya yaitu, meluah, meneympit, perubahan total, penghalusan, dan pengasaran. Perubahan dalam bunyi bahasa Indonesia berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan anaptiksis.







DAFTAR PUSTAKA

Muslich, Masnur. 2013. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriftif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.
Muslich, Masnur. 2012. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriftif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2003. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolonguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar