MONOFTONGISASI DAN ANAPTIKSIS
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 19
KETUA : MISMAWATI DEWI NIM : 312013042
DOSEN
PENGASUH : Dra. SAKDIAH, M.Pd.
PROGRAM
STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN
AJARAN 2013/2014
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah,
atas berkat rahmad Allah SWT, akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah kami
yang berjudul Monoftongisasi dan Anaptikis,
guna untuk memenuhi tugas kami pada mata kuliah Fonologi.
Kami menyadari akan kekurangan yang ada dalam makalah
kami. Namun
setidaknya dapat memberikan sedikit gambaran tentang materi yang di bahas dalam
makalah ini. Kami juga mengharapkan kritik dan saran dari kalian semua.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Palembang, Juni 2014
Penulis
i
DAFTAR
ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan................................................................................................. 1
1.3 Rumusan Masalah............................................................................................... 1
Bab II Pembahasan................................................................................................... 2
2.1 Aspek Makna Ujaran.......................................................................................... 2
2.2 Sebab-Sebab
Perubahan Makna Kata................................................................ 3
2.3 Jenis Perubahan Makna Kata ............................................................................ 7
2.4 Perubahan Bunyi dalam Bahasa Indonesia......................................................... 8
Bab III Penutup ...................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 15
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
premis telah disebutkan bahwa bunyi-bunyi lingual condong berubah karena
lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa berdampak pada
dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau
mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau
varian bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain, perubahan itu masih dalam
lingkup perubahan fonetis. Tetapi,
apabila perubahan bunyi itu sudah sampai
berdampak pada pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi
tersebut merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan
itu disebut sebagai perubahan fonemis.
1.2 Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui makna ujaran
2.
Untuk
mengetahui sebab-sebab perubahan makna kata.
3.
Untuk
mengetahui jenis perubahan makna kata.
4.
Untuk
mengetahui perubahan bunyi dalam bahasa Indonesia.
1.3 Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud makna ujaran?
2.
Apa
saja yang menyebabkan perubahan makna kata?
3.
Apa
saja jenis perubahan makna kata?
4.
Apa
saja perubahan bunyi dalam bahasa Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Aspek Makna Ujaran
A. Hakikat Makna Ujaran
Berbicara tentang makna, pertama perlu diingat adanya dua
kajian tentang makna, yaitu semantik dan semiotik. Dalam praktik berbahasa
teryata makna suatu ujaran tidak bisa dipahami hanya dari kajian semantik,
tetapi juga harus dibantu oleh kajian semiotik, seperti pemahaman mengejai
gerak-gerik tubuh dan anggota tubuh, serta mimik dan sebagainya.
B. Makna Leksikal
Dalam kajian morfologi laksem atau leksikal lazim
diartikan sebagai bentuk dasar setelah mengalami proses gmatikalisasi akan
menjadi kata (Kridalaksana, 1989). Sedangkan dalam kajian semantik laksem lazim
diartikan sebagai satuan bahasa yang memiliki satu makna atau satu pengertian,
seperti air dalam arti sejenis barang cairyang digunakan untuk keperluan
sehari-hari, pensil yang diartikan sejenis alat tulis.
C. Makna Gramatikal
Tahap kedua untuk bisa memahami makna suatu ujaran dalah
memahami makna gramatikal, yakni makna yang muncul sebagai hasil suatu proses
gramatikal. Proses gramatikal yakni, proses afiksasi, proses reduplikasi,
proses komposisi, proses pemfrasean, dan proses pengkalimatan.
D. Makna Kontekstual
Memahami makna leksikal dan makna gramatikal saja belum
cukup untuk dapat memahami suatu ujaran, sesab untuk dapat memahami makna suatu
ujaran harus pula diketahui konteks dan terjadinya ujaran it. Konteks ujaran
ini dapat berupa konteks antarkalimat, bidang ujaran, atau juga siituasi
ujaran.
E. Ujaran Teks
Ujaran teks adalah ujaran yang makna nya bisa ditafsirkan
bermacam-macam
2.2 Sebab-Sebab Perubahan Makna Kata
A. Perkembangan dalam Ilmu Teknologi
Perkembangan dalam bidang ilmu dan kemajuan teknologi
dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna bunyi setiap kata. Di sini makna
kata yang tadinya mengandung konsep makna mengenai sesuatu yang sederhana,
tetap digunakan walaupun konsep makna yang dindung telah berubah sebagai akibat
dari pandangan baru, atau teori baru dalam suatu bidang ilmu atau sebagai
akibat dalam perkembangan teknologi. Perubahan makna kata sastra dari makna
tulisan sampai pada makna imajinatif adalah salah satu contoh perkembangan
bidang keilmuan. Pandangan-pandanagan baru atau teori baru mengenai sastra
menyebabkan makna kata sastra yang tadinya bermakna buku yang baik isinya
menjadi karya yang bersifat imajinatif kreatif.
B. Perkembangan Sosial dan Budaya
Perkembangan dalam bidang sosial kemasyarakatan dapat
menyebabkan terjadinya perubahan makna. Disini sama dengan terjadi sebagai
akibat perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi, sebuah kata pada mulanya
bermakna “A” lalu berubah menjadi bermakna “B” atau “C’. Jadi, bentuk katanya
tetap sama tetapi konsep makna yeng dikandungnya berubah.
C. Perbedaan Bidang Pemukiman
Kata-kata yang menjadi kosakata dalam bidang-bidang
tertentu itu dalam kehudupan dan pemakaian sehari-hari dapat terbentuk dari
bidangnya. Oleh karena itu, kata-kata tersebut menjadi memiliki makna baru atau
makna lain disamping makna aslinya. Misalnya kata menggarap yang berasal dari
bidang pertanian, seperti tampak dalam frase menggarap sawah, tanah garapan dan
petani penggggarap, kini banyak juga digunakan dalam bidang-bidang lain dengan
makna “mengerjakan” seperti tampak digunakan dalam frase menggarap skripsi,
menggarap naskah drama.
D. Adanya Asosiasi
Kata-kata yang digunakan diluar bidangnya, seperti
dibicarakan diatas masih ada hubungannya atu pertautan maknanya dengan makna
ynag digunakan pada bidang asalnya. Umpamanya kata mencatut yang berasal dari
bidang atau lingkungan pertukanagan dan perbengkelan mempunyai makna berkerja
denagn menggunakn catut. Dengan menggunakan catut ini maka pekerjaan yang
dilakukan, misalnya mencabut paku, menjadi dapat dilakukan dengan mudah. Oleh
karena itu, kalau digunakan dalam frase seperti mencatut karcis akan memiliki
makna memperoleh keuntungan dengan mudah melalui jual beli karcis.
D. Pertukaran Tanggapan Indera
Alat indera kita yang lima sebenarnya sudah mempunyai
tugas-tugas tertentu untuk menangkap gejala-gejal yang terjadi di dunia ini.
Umpamanya rasa pahit, getir dan manisharus ditanggap oleh alat perasa lidah.
Namun dalam penggunaan bahasa banyak terjadi perubahan
kasus pertukaran tanggaoan antara indera yang satu dengan indera yang alin/
rasa pedas misalnya, yang seharusnya ditanggap dengan alat indera perasa lidah,
tertukar ditanggap oleh alat indera pendengaran seperti tampak dalam ujaran
kata-katanya cukup pedas.
E. Perbedaan Tanggapan
Setiap unsur leksikal atau kata sebenarnya secara
sinkronis telah mempunyai makna leksikal yang tetap. Namun karena pandangan
hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di dalam masyarakat, maka banyak makna
kata memiliki nilai rasa rendah. Di samping itu ada juga yang memiliki nilai
yang tinggi. Kata-kata yang nilainya merosot menjadi rendah ini lazim disebut
peyoratif, sedangnkan uyang nilainya naik menjadi tinggi disebut amelioratif.
Kata bini dewasa ini dianggap
peyoratif sedangkan istri dianggap amelioratif.
E. Adanya Penyingkiran
Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau ungkapan
yang karena sering dugunakan, maka kemudian tanpa diucapkan atau dituliskan
secara keseluruhan orang sudah mengerti maksudnya. Oleh karena itu, orang lebih
banyak menggunakan singkatan daripada menggunakan bentuk utuhnya.
F. Proses Gramatikal
Proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi atau
komposisi akan menyebabkan pula terjadinya perubahan makna. Tetapi dalam hal
ini yang sebenarnya terjadi bukan perubahan makna, sebab bentuk kata itu sudah
berubah sebagai hasil proses gramatikal. Dalam bagian pendahuluan sudah
dibicrakan kalau bentuk berubah atau berbeda. jadi tidaklah dapat dikatakan
kalau dalam hal ini terjadi perubahan makna, sebab yang terjadi dalam proses
gramatikal, dan proses gramatikal itu telah melahirkan makna-makna gramatikal.
G. Pengembangan Istilah
Salah satu upaya dalam pengembangan atau pembentukan
istilah baru adalah dengan memanfaatkan kosakata bahasa Indonesia yang ada dengan
menyempitkan makna kata tersebut, meluaskan maupun memberi arti baru sama
sekali. Misalnya kata papan yang semual bermakna lempengan kayu besi tipis,
kini diangkat menjadi istilah untuk makna perumahan, kata sandang yang semula
bermakna selendang kini diangkat menjadi istilah pakaian.
2.3 Jenis Perubahan Makna Kata
A. Meluas
Gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya
hanya memiliki makna sebuah makna, tetapi kemudian karena berbagai faktor
menjadi memiliki makna-makna-makna lain. Umpamanya kata saudara yang hanya
memiliki makna sekandung. Kemudian maknanya berkembang menjadi siapa yang
sepertalian darah. Akibatnya anak paman pun disebut saudara.
B. Menyempit
Yang dimaksud perubahan menyempit adalah gejala gejala
yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup
luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misalnya
kata sarjana yang pada mulanya berarti orangg pandai, kemudian hany berarti
orang yang lulus dari perguruan tinggi.
C. Perubahan Total
Yang dimaksud perubahan total adalah berubahnya sama
sekali makna sebuah kata dari makna aslanya. Misalnya, kata ceramah yang
mulanya berarti cerewet atau banyak cakap tetapi kini berarti pidato atau
uraian mengenai suatu hal yang disampaikan, didepan orang banyak.
D. Penghalusan
Gejala penghalusan makna ini bukan barang baru dalam
masyarakat Indonesia. Orang-orang dulu karena kepercayaan atau sebab-sebab
lainnya akan mengganti kata buaya atau harimau dengan kata nenek mengganti kata
ular dengan kata akar. Lalu, pada tahun lima puluahanpun banyak usaha
dilakuakan untuk penghalusan ini. Misalnya buta diganti dengan tunanetra, tuli
dignati dengan tunarungu, dan gelandangan diganti dengan tunawisma.
E. Pengasaran
Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang
dalam situasi yang tidak ramah. Misalnya kata masuk kotak dipakai untuk
mengganti kata kalah. Namun, banyak juga kata yang sebenarnya bernilai kasar
tetapi sengaja digunakan untik lebih memberi tekanan tetapi tanpa terasa
kekasarannya. Misalnya kata menggondol yang biasa dipakai untuk binatang
seperti anjing menggondol tulang.
2.4 Perubahan Bunyi dalam Bahasa Indonesia
Dalam
premis telah disebutkan bahwa bunyi-bunyi lingual condong berubah karena
lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa berdampak pada
dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau
mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau
varian bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain, perubahan itu masih dalam
lingkup perubahan fonetis. Tetapi,
apabila perubahan bunyi itu sudah sampai
berdampak pada pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi
tersebut merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan
itu disebut sebagai perubahan fonemis.
Jenis-jenis
perubahan bunyi tersebut berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal,
netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan
anaptiksis, sebagaimana uraian berikut.
A.
Asimilasi
Asimilasi
adalah perubahan bunyi dari dua hal bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau hampir sama. Hal ini terjadi karena
bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk
saling mempengaruhi atau dipengaruhi.
Dalam
bahasa Indonesia, asimilasi fonetis terjadi pada bunyi nasal pada kata tentang dan tendang. Bunyi nasal pada tentangdiucapkan
apiko-dental karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [t], juga apiko-dental.
Bunyi nasal pada tendang diucapkan
apiko-alveolar karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [d], juga apiko-alveolar.
Perubahan bunyi nasal tersebut masih dalam lingkup alofon dari fonem yang sama.
B. Disimilasi
Disimilasi
adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang
tidak sama atau berbeda.
Contoh
:
Kata
bahasa Indonesia belajar [bǝlajar]
berasal dari penggabungan prefix ber [bǝr]
dan bentuk dasar ajar [ajar].
Mestinya, kalau tidak ada perubahan menjadi berajar
[bǝrajar]. Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang pertama diperbedakan
atau didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi [bǝlajar]. Karena perubahan
tersebut sudah menembus batas fonem, yaitu [r] merupakan alofon dari fonem /r/
dan [l] merupakan alofon dari fonem
/l/, maka disebut disimilasi fonemis.
C. Modifikasi
vokal
Modifikasi
vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain yang
mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan kedalam peristiwa
asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, maka perlu disendirikan.
D. Netralisasi
Netralisasi
adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan. Untk
mejelaskann kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut. Dengan cara pasangan
minimal [baraƞ] ‘barang’−[parang] ‘paraƞ’ bisa disimpulkan bahwa dalam bahasa
Indonesia ada fonem /b/ dan /p/.Tetapi dalam kondisi tertentu, fungsi pembeda
antara /b/ dan /p/ bisa batal setidak-tidaknya bermasalah karena dijumpai yang
sama. Minsalnya, fonem /b/ pada silaba akhir pada kata adab dan sebab diucapkan
[p’]: [adap] dan [sǝbab’], yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan usap: [atap’] dan [usap’]. Mengapa terjadi demikian? Karena
konsonan hambatan letup bersuara [b] tidak mungkin terjadi pada posisi koda.
Ketika dinetralisasikan menjadi hambatan tidak bersuara, yaitu [p’], sama
dengan realisasi yang biasa terdapat dalam fonem /p/.
E. Zeroisasi
Zeroisasi
adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau
ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan
bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak menggangu
proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus dikembangkan karena secara
diam-diam telah didukung dan disepakti oleh komunitas penuturnya.
Dalam
bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian katatak ataundak untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan beberapa
fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia.
Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan, gejala itu terus berlangsung.
Zeroisasi
dengan model penyingkatan ini biasa disebut kontraksi.
Apabila
diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu : aferesis, apokop, dan sinkop.
F.
Metatesis
Metatesis
adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua
bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mengalami
metatesis ini tidak banyak.
G. Diftongisasi
Diftongisasi
adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau
vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari vokal tunggal ke vokal
rangkap ini masih diucapkan dalam satu
puncak kenyaringan sehingga tetap dalam satu silaba.
H. Monoftongisasi
Monoftongisasi
yaitu perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) menjadi vokal
(monoftong) . (Muslich 2012 : 126). Peristiwa penunggalan vokal ini banyak
terjadi dalam bahasa Indonesia sebagai sikap pemudahan pengucapan terhadap
bunyi-bunyi diftong.
Monoftongisasi
adalah proses perubahan dua buah vokal atau gugus vokal menjadi sebuah vokal.
Poses ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia akibat dari ingin memudahkan
ucapan. (Chaer 2009 : 104).
Monoftongisasi
adalah proses perubahan bentuk kata yang berujud sebuah diftong berubah menjadi
sebuah monoftong.
Jadi,
monoftongisasi adalah proses perubahan dua bunyi vokal menjadi sebuah vokal.
Contoh:
Ramai menjadi (rame)
Kalao menjadi (kalo)
Danau menjadi (danau)
Satai menjadi
(sate)
Damai menjadi (dame)
Sungai menjadi (sunge)
I. Anaptiksis
Anaptiksis
atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal
tertentu di antara dua konsonan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa
ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi
vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster. (Muslich 2012 : 126).
Anaptiksis
adalah proses penambahan bunyi vokal di antara dua konsoan dalam sebuah kata;
atau penambahan sebuah konsonan pada sebuah kata tertentu. (Chaer 2009 : 105).
Anaptiksis
(suara bakti) adalah proses perubahan
bentuk kata yang berujud penambahan satu bunyi antara dua fonem dalam sebuah
kata guna melancarkan ucapan.
Jadi,
anaptikis adalah perubahan bentuk kata
dengan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan.
Contoh:
Putra menjadi putera
Putri menjadi puteri
Bahtra menjadi bahtera
Srigala menjadi serigala
Sloka menjadi seloka
Anaptikis
ada tiga yaitu:
Protesis
adalah proses penambhan bunyi ada awal
kata. Misalnya:
Mas menjadi emas
Mpu menjadi empu
Tik menjadi ketik
Lang menjadi elang
Epentesis
adalah proses penambahan bunyi pada tengah kata. Misalnya:
Kapak menjadi kampak
Sajak menjadi sanjak
Upama menjadi umpama
Beteng menjadi benteng
Paragog
adalah proses penambahan bunyi pada posisi akhir kata. Misalnya:
Huubala menjadi hulubalang
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penulisan makalah ini dapat diambil kesimpulan bahwa
aspek dalam makna ujaran diantaranya yaitu, hakikat makna ujaran, makna
leksikal, makna gramatikal, makna kontekstual, dan ujaran taksa. Penyebab
perubahan makna yaitu, perkembangan dalam ilmu dan teknologi, perkembangan
sosial budaya, perbedaan bidang pemakaian, adanya asosiasi, pertukaran tanggapan
indera, perbedaan tanggapan, adanya penyingkatan, proses grmatikal, dan
pengembangan istilah. Jenis perubahanya yaitu, meluah, meneympit, perubahan
total, penghalusan, dan pengasaran. Perubahan dalam bunyi bahasa Indonesia berupa
asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis,
diftongisasi, monoftongisasi, dan anaptiksis.
DAFTAR PUSTAKA
Muslich, Masnur. 2013. Fonologi
Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriftif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta
: Bumi Aksara.
Muslich, Masnur. 2012. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriftif Sistem Bunyi Bahasa
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Chaer, Abdul. 2009. Fonologi
Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2003. Pengantar
Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolonguistik
Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar